Dalam
beberapa dekade terakhir ini, isu pemanasan global (global warming)
menjadi sebuah topik yang hangat untuk dibicarakan. Pemanasan global adalah
peristiwa naiknya suhu rata-rata permukaan dan lapisan atmosfer bumi yang
disebabkan oleh gas rumah kaca. Pengertian gas rumah kaca itu sendiri adalah
gas-gas yang berada di lapisan atmosfer yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca
misalnya CO2, CH4, SF4, dan sebagainya. Radiasi sinar matahari yang
menembus lapisan atmosfer bumi tidak dapat dipantulkan kembali ke angkasa
akibat adanya gas-gas rumah kaca tersebut. Sebagai akibatnya, pantulan radiasi
sinar matahari terperangkap di lapisan atmosfer dan akhirnya menyebabkan suhu
rata-rata permukaan dan lapisan atmosfer meningkat.
Gas
karbondioksida (CO2) merupakan komponen penyusun terbanyak kedua dalam proses
gas rumah kaca setelah uap air. Adanya CO2 di udara sebagian besar
disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil pada
kendaraan bermotor, industrialisasi, dan sebagainya termasuk merokok dan membakar sampah. Konsentrasi CO2 pada
lapisan atmosfer menunjukkan tren kenaikan dalam kurun waktu lebih dari 100
tahun terakhir. Tren kenaikan konsentrasi CO2 ini berbanding lurus dengan
tren kenaikan suhu global rata-rata bumi seperti yang ditunjukkan pada gambar
1. Oleh karenanya, dibutuhkan solusi tepat yang dapat mengurangi konsentrasi
CO2 secara signifikan.
Gambar ilustrasi dibawah ini biasanya di copy paste oleh insiyur-insiyur yang sok pinter dan agar dianggap pinter sebagai bahan presentasi EOR mereka. Tadinya sih saya kira mereka pinter beneran, ternyata hasil copas dari mbah google pulak, wekekek.
Gambar 1. Tren kenaikan konsentrasi CO2 dan suhu rata-rata bumi sejak tahun 1880.
Salah
satu metode terbaru dan ramah lingkungan yang dikembangkan untuk mengurangi
kadar konsentrasi CO2 adalah dengan cara
menginjeksikannya ke dalam lapisan bumi. Cara ini lebih dikenal dengan
istilah CO2 Sequestration atau CO2 Capture and Storage (CCS). Metode CCS ini sangat cocok
untuk diterapkan pada skala industri yang menghasilkan pembuangan limbah CO2 dalam jumlah besar. Di dalam metode ini, CO2 tidak dibuang secara langsung ke lapisan atmosfer,
akan tetapi disalurkan melalui pipa untuk diinjeksikan ke dalam lapisan bumi
(gambar 2). Tujuannya agar CO2
terperangkap di dalam rongga-rongga pori batuan dalam waktu yang cukup lama,
ratusan bahkan ribuan tahun.
Nah, jadi tujuan semulanya menginjeksikan CO2 kedalam bumi adalah untuk membuang sampah CO2 agar tidak terbang ke angkasa dan menimbulkan gas rumah kaca. Tujuan utama dari team penjual CO2 dan penjual jasa nginjek CO2 ini sebenernya ya mbuang sampah tersebut. Mereka dianggap berhasil apabila sudah membuang sampah CO2, dan gebleknya banyak perusahaan-perusahaan pembuang CO2 yang dibayar mahal, mengaku telah berhasil (dan tentunya menagih pombayaran kepada pemasok sampahnya) membuang ribuan ton CO2, padahal yang di injek hanyalah beberapa puluh ton saja, alias menjual data palsu tipu-tipu. Hal ini dikarenakan biaya menginjek CO2 kedalam bumi membutuhkan biaya extra tinggi.
Gambar dibawah ini juga yang biasa di copas oleh para insinyur yang mempromosikan injek CO2 agar kelihatan canggih dan pintar.
Gambar 2. Skema metode carbon capture and storage
(CCS).
Tentu
saja ada beberapa kriteria pemilihan lapisan struktur geologi mana sajakah yang
layak untuk dijadikan ‘tempat tinggal’ CO2 dalam rentang waktu yang cukup lama tersebut. Namun dari beberapa
kriteria yang ada, kriteria utama yang harus dipenuhi menyangkut karakteristik
formasi batuan seperti porositas dan permeabilitas. Porositas adalah
perbandingan volume rongga-rongga terhadap volume total seluruh batuan,
sedangkan permeabilitas adalah kemampuan batuan untuk mengalirkan fluida
melewati rongga-rongga efektif yang terhubung di dalamnya. Dari definisi
tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa porositas dan permeabilitas yang kecil
pada batuan akan memperlambat proses migrasinya CO2 dari satu tempat ke tempat yang lain. Dengan kata
lain, kecilnya porositas dan permeabilitas akan menyebabkan CO2 terperangkap di dalam rongga-rongga pori batuan
dalam waktu yang cukup lama.
Nah karena menginjek CO2 ini membutuhkan biaya yang tinggi, yaitu harus mengebor kerak bumi, menyediakan peralatan dalam dan permukaan bumi, handling dan sebagainya, maka dibuatkan alasan agar gas CO2 ini dapat di buang di sumur-sumur penghasil minyak bumi. Dilahirkanlah ide Enhancement Oil Recovery dengan gagasan menginjek CO2 yang di pas-paskan teorinya.
Di dalam metode CCS ini, CO2 diinjeksikan
pada kedalaman lebih dari 800 meter. Pada kedalaman tersebut, dengan kondisi
tekanan dan temperatur tertentu, CO2 berwujud superkritis yang mempunyai densitas antara 500-700 kilogram
per meter kubik (kg/m3). Densitas CO2 ini lebih rendah dari densitas fluida yang terlebih dahulu mengisi
rongga-rongga pori batuan, dalam hal ini hidrokarbon atau air formasi. Lebih
rendahnya densitas CO2 menimbulkan terjadinya ‘buoyant
flow’ yang mana menyebabkan terdesaknya hidrokarbon untuk keluar dari
rongga-rongga pori batuan.
Gambar 3. Skema kombinasi CCS dan EOR atau lebih
dikenal dengan nama CO2-EOR.
Selain
proses ‘bouyant flow’ tersebut, ada faktor lain yang dapat membantu mempermudah
proses keluarnya hidrokarbon dari rongga-rongga pori batuan. CO2 yang diinjeksikan akan saling melarutkan ketika
‘bercampur’ dengan hidrokarbon (gambar 3)..
Tegangan permukaan antara dua fase
tersebut akan turun, salah satunya akibat rendahnya viskositas (kuantitas
kekentalan fluida yang menggambarkan resistensi suatu fluida untuk mengalir) CO2 yang kemudian menurunkan viskositas hidrokarbon.
Hal ini memungkinkan CO2 lebih mudah melakukan penetrasi
ke dalam rongga-rongga pori batuan dan menggantikan
hidrokarbon. Selanjutnya, hidrokarbon akan bermigrasi pada kedalaman yang
lebih rendah dan akhirnya terperangkap di bawah formasi batuan yang sulit
ditembus (seal) membentuk akumulasi hidrokarbon. Dari proses tersebut,
ada keuntungan ganda yang bisa diperoleh dalam satu waktu yaitu mengurangi
konsentrasi CO2 di udara dan meningkatkan laju
produksi minyak. Kombinasi metode CCS dengan proses terdesaknya hidrokarbon
pada rongga-rongga pori batuan tersebut dikenal dengan nama CO2-Enhanced Oil Recovery (CO2-EOR).